Sehingga simbol inilah yang menjadi ciri khas sebagai symbol pernikahaan masyarakat betawi saat melakukan resepsi pernikahan.
Setiap
acara pernikahan yang mengusung adat Betawi, pasti tak pernah
meninggalkan roti buaya. Biasanya roti yang memiliki panjang sekitar 50
sentimeter atau tergantung yang memesan ini dibawa oleh mempelai
pengantin laki-laki pada acara serah-serahan. Selain roti buaya,
mempelai pengantin laki-laki juga memberikan uang mahar, perhiasan,
kain, baju kebaya, selop, alat kecantikan, serta beberapa peralatan
rumah tangga. Dari sejumlah barang yang diserahkan tersebut, roti buaya
menempati posisi terpenting. Bahkan, bisa dibilang hukumnya wajib.
Sebab, roti ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni
sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup-semati.
Menurut
Haji Ilyas, salah satu tokoh Betawi di Tanahtinggi, Jakarta Pusat,
meski saat ini banyak warga Betawi yang merayakan pernikahan secara
modern, tapi mereka masih memakai roti buaya sebagai simbol kesetiaan.
Karena roti buaya sudah membudaya bagi warga Betawi. “Adat kite ntu
kagak ilang. Masih banyak nyang pake. Kite ambil contoh di kawasan
Condet, Palmerah sampe ke Bekasi, malahan sampe Tangerang,” lanjut
pria yang sering disapa Haji ini. Sayangnya, saat ini roti buaya tidak
mudah dijumpai di toko-toko roti. Untuk itu, bagi pasangan yang akan
menikah harus pesan dulu ke tukang roti. Dan harganya juga bervariasi
tergantung ukuran yang dipesan, yakni mulai dari 50 ribu hingga ratusan
ribu rupiah. Itu sudah termasuk rasa roti, keranjang, dan asesoris
pelengkapnya. “Roti buaya adalah kue perayaan, jadi nggak setiap hari ada. Kalau mau beli harus pesan dulu,”
kata Ari, salah satu pedagang kue di Pasar Senen. Sejatinya, bagi warga
yang sudah terbisa membuat roti, tidak terlalu sulit membuat roti buaya
ini. Sebab, bahan dasarnya sangat sederhana, yakni terigu, gula pasir,
margarine, garam, ragi, susu bubuk, telur dan bahan pewarna. Keseluruhan
bahan tersebut dicampur dan diaduk hingga rata dan halus, kemudian
dibentuk menyerupai buaya. Setelah bentuk kemudian dioven/panggang
hingga matang.
Roti buaya,
katanya roti khas Betawi yang selalu ada di setiap perhelatan orang
Betawi, yang makanan pokoknya rasanya beras. Karena dari ujung Sabang
sampai sekarang Merauke, orang yang menamakan dirinya orang Indonesia
sudah makan nasi. Jadi, boleh diambil kesimpulan roti buaya ini pasti
peninggalan sang penjajah yang memang makanannya roti. Kalau begini,
mengakui peninggalan atau mengakui sesuatu yang bukan berasal dari
kebiasaan penduduk setempat tetapi mempunyai kaitan historis sah-sah
sajakan? Kalau memperhatikan cara berpakaian, makanan, tarian, way of
life berbagai suku bangsa di Indonesia, yang mana bisa kita katakan
‘ASLI’ Indonesia? Menilik sejarah Indonesia, Indonesia sudah menjadi
‘melting pot’ berbagai ragam budaya manusia sejak ribuan tahun yang
lalu. Asli Indonesia kah Ramayana dan Bharatayuda? huruf-huruf yang
digunakan mencatat oleh nenek moyang kita? ASLI Indonesia kah nenek
moyang kita? Mudah-mudahan, doa ini terutama buat yang masih muda-muda,
bangsa Indonesia tidak terperangkap pada elemen-elemen primordialisme.
Memang menjaga milik itu wajib hukumnya, tetapi kita tidak pernah hidup
terisolasi dan terpisah dari manusia-manusia lain di muka bumi ini.
Jadi, untuk bangga menjadi orang Indonesia, perlukah kita memusuhi
tetangga kita sendiri?
Asal
muasal adanya roti buaya ini, konon terinspirasi perilaku buaya yang
hanya kawin sekali sepanjang hidupnya. Masyarakat Betawi meyakini hal
itu secara turun temurun. Selain terinspirasi perilaku buaya, simbol
kesetiaan yang diwujudkan dalam sebuah makanan berbentuk roti itu juga
memiliki makna khusus. Menurut keyakinan masyarakat Betawi, roti juga
menjadi simbol kemampanan ekonomi. Dengan maksud, selain bisa saling
setia, pasangan yang menikah juga memiliki masa depan yang lebih baik
dan bisa hidup mapan. Karenanya, tak heran jika setiap kali prosesi
pernikahan, mempelai laki-laki selalu membawa sepasang roti buaya
berukuran besar, dan satu roti buaya berukuran kecil yang diletakkan di
atas roti buaya yang disimbolkan sebagai buaya perempuan. Ini
mencerminkan kesetian mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan
sampai beranak-cucu. Tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang.
Yang
menjadi motivasi penulis dalam membuat makalah ini adalah untuk
memberikan informasi kepada orang lain mengenai ragam kebudayaan di
Indonesia khususnya mengenai kebudayaan roti buaya menjadi simbol dari
pernikahaan masyarakat Betawi. Selain itu juga untuk mengetahui kenapa
masyarakat Betawi menggunakan roti buaya sebagai simbol adat pernikahan
dan untuk memahami makna dari roti buaya pada pernikahan adat Betawi
yang menjadi simbol masyarakat Betawi serta kebiasaan masyarakat Betawi
menjadikan roti buaya sebagai simbol pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar