Jumat, 31 Januari 2014

ROTI BUAYA UNIK

Roti Buaya, Roti unik khas betawi

Berhubung masiih dalam suasana ulang tahun kota jakarta yang ke 486, maka postingan kali ini juga tak jauh-jauh dari yang namaya kota jakarta, kali ini kita akan membahas tentang salah satu kue khas orang asli jakarta alias betawi, yaitu Roti buaya. Roti buaya adalah salah satu kue yang paling kha di jakarta, pasalnya, roti ini adalah salah satu syarat bagi mempelai lelaki dalam pernikahan adat betawi.

http://www.primaironline.com/images_content/20091120buaya1.jpeg

Roti buaya mulai dikenal oleh orang-orang Jakarta saat masuknya bangsa eropa ke indonesia. Bagi bangsa eropa, pernikahan adalah sesuatu yang sakral, sehingga diperlukan simbol-simbol yang bisa mewakili pernikahan tersebut, saat itu simbol yang biasa dipakai oleh bangsa eropa yang menikah adalah bunga. Tak mau meniru gaya orang eropa, orang betawi pun berusaha untuk mencari simbol sendiri dalam pernikahan, maka dipilihlah roti buaya sebagai simbol pernikahan.

Lalu kenapa harus roti buaya? kenapa bukan roti-roti lainya?. Jawabanya adalah karena buaya merupakan simbol kesetiaan. Buaya hanya akan kawin sekali saja, filosofi inilah yang membuat buaya terpilih untuk mewakili simbolisasi pernikahan ala betawi ini dengan harapan si pengantin bisa langgeng dan saling setia sampai akhir hayatnya.

roti buaya 3

Dan hingga kini, roti buaya sudah umum disebut sebagai roti kawinan betawi, bahkan ada paradigma yang kemudian menyebutkan bahwa perkawinan belum sah kalau belum ada roti buaya.

Untuk membuat roti buaya sendiri tak terlalu sulit, berikut adalah resep untuk membuat roti buaya yang kami ambil dari indorecipe :

Bahan-bahan :
  • 500 g terigu cakra
  • 1 sdm gist
  • 30 g susu bubuk
  • 30 g gula pasir
  • 30 g blue band
  • 500 cc air
  • garam secukupnya
Cara Membuat
  • Campur dan aduk jadi satu bahan kering; tuangi air, aduk hingga tercampur, masukkan blue band, aduk hingga menjadi adonan kalis
  • Diamkan 45 menit hingga mengembang
  • Potong-potong adonana masing-masing 50 gram, pulungi dan biarkan 15 menit
  • Bentuk adonan yang telah dipulung menyerupai buaya, letakkan diatas loyang yang telah diolesi blue band, biarkan mengembang kembali 45 menit
  • Panggang hingga kuning kecoklatan dan matang, hidangkan.

SEJARAH ROTI BUAYA

Banyak yang berangapan bahwa dari suatu jenis atau macam dari simbol pernikahan itu pasti berbeda-beda dari kebudayaan ke budaya lainnya. Dalam hal ini yang menjadi simbol pernikahaan adat betawi yaitu menggunakan roti buaya. Alasan masyarakat Betawi menggunakan simbol buaya adalah kalau dilihat dari sejarahnya bahwa buaya laki itu hanya setia pada satu pasangan buaya perempuan sampai mereka mati itulah yang menjadi dasar dari simbol roti buaya tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah kalau kita sering mendengar atau melihat buaya itu identik dengan hal yang negative contohnya buaya darat istilah ini di identikan dengan orang yang suka mempermainkan orang lain tapi masyarakat Betawi menganggap roti buaya itu sebagai lambang kesetiaan. Biasanya roti buaya yang dibawa pada saat pernikahaan masyarakat Betawi umumnya adalah tiga roti, yang pertama itu roti buaya jantan, yang kedua roti buaya perempuan dan ditambah dengan roti buaya anakan.


Sehingga simbol inilah yang menjadi ciri khas sebagai symbol pernikahaan masyarakat betawi saat melakukan resepsi pernikahan.

Setiap acara pernikahan yang mengusung adat Betawi, pasti tak pernah meninggalkan roti buaya. Biasanya roti yang memiliki panjang sekitar 50 sentimeter atau tergantung yang memesan ini dibawa oleh mempelai pengantin laki-laki pada acara serah-serahan. Selain roti buaya, mempelai pengantin laki-laki juga memberikan uang mahar, perhiasan, kain, baju kebaya, selop, alat kecantikan, serta beberapa peralatan rumah tangga. Dari sejumlah barang yang diserahkan tersebut, roti buaya menempati posisi terpenting. Bahkan, bisa dibilang hukumnya wajib. Sebab, roti ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup-semati.
Menurut Haji Ilyas, salah satu tokoh Betawi di Tanahtinggi, Jakarta Pusat, meski saat ini banyak warga Betawi yang merayakan pernikahan secara modern, tapi mereka masih memakai roti buaya sebagai simbol kesetiaan. Karena roti buaya sudah membudaya bagi warga Betawi.  “Adat kite ntu kagak ilang. Masih banyak nyang pake. Kite ambil contoh di kawasan Condet, Palmerah sampe ke Bekasi, malahan sampe Tangerang,” lanjut pria yang sering disapa Haji ini. Sayangnya, saat ini roti buaya tidak mudah dijumpai di toko-toko roti. Untuk itu, bagi pasangan yang akan menikah harus pesan dulu ke tukang roti. Dan harganya juga bervariasi tergantung ukuran yang dipesan, yakni mulai dari 50 ribu hingga ratusan ribu rupiah. Itu sudah termasuk rasa roti, keranjang, dan asesoris pelengkapnya. “Roti buaya adalah kue perayaan, jadi nggak setiap hari ada. Kalau mau beli harus pesan dulu,” kata Ari, salah satu pedagang kue di Pasar Senen. Sejatinya, bagi warga yang sudah terbisa membuat roti, tidak terlalu sulit membuat roti buaya ini. Sebab, bahan dasarnya sangat sederhana, yakni terigu, gula pasir, margarine, garam, ragi, susu bubuk, telur dan bahan pewarna. Keseluruhan bahan tersebut dicampur dan diaduk hingga rata dan halus, kemudian dibentuk menyerupai buaya. Setelah bentuk kemudian dioven/panggang hingga matang.
Roti buaya, katanya roti khas Betawi yang selalu ada di setiap perhelatan orang Betawi, yang makanan pokoknya rasanya beras. Karena dari ujung Sabang sampai sekarang Merauke, orang yang menamakan dirinya orang Indonesia sudah makan nasi. Jadi, boleh diambil kesimpulan roti buaya ini pasti peninggalan sang penjajah yang memang makanannya roti. Kalau begini, mengakui peninggalan atau mengakui sesuatu yang bukan berasal dari kebiasaan penduduk setempat tetapi mempunyai kaitan historis sah-sah sajakan? Kalau memperhatikan cara berpakaian, makanan, tarian, way of life berbagai suku bangsa di Indonesia, yang mana bisa kita katakan ‘ASLI’ Indonesia? Menilik sejarah Indonesia, Indonesia sudah menjadi ‘melting pot’ berbagai ragam budaya manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Asli Indonesia kah Ramayana dan Bharatayuda? huruf-huruf  yang digunakan mencatat oleh nenek moyang kita? ASLI Indonesia kah nenek moyang kita? Mudah-mudahan, doa ini terutama buat yang masih muda-muda, bangsa Indonesia tidak terperangkap pada elemen-elemen primordialisme. Memang menjaga milik itu wajib hukumnya, tetapi kita tidak pernah hidup terisolasi dan terpisah dari manusia-manusia lain di muka bumi ini. Jadi, untuk bangga menjadi orang  Indonesia,  perlukah kita  memusuhi  tetangga kita  sendiri?
Asal muasal adanya roti buaya ini, konon terinspirasi perilaku buaya yang hanya kawin sekali sepanjang hidupnya. Masyarakat Betawi meyakini hal itu secara turun temurun. Selain terinspirasi perilaku buaya, simbol kesetiaan yang diwujudkan dalam sebuah makanan berbentuk roti itu juga memiliki makna khusus. Menurut keyakinan masyarakat Betawi, roti juga menjadi simbol kemampanan ekonomi. Dengan maksud, selain bisa saling setia, pasangan yang menikah juga memiliki masa depan yang lebih baik dan bisa hidup mapan. Karenanya, tak heran jika setiap kali prosesi pernikahan, mempelai laki-laki selalu membawa sepasang roti buaya berukuran besar, dan satu roti buaya berukuran kecil yang diletakkan di atas roti buaya yang disimbolkan sebagai buaya perempuan. Ini mencerminkan kesetian mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sampai beranak-cucu. Tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang.
Yang menjadi motivasi penulis dalam membuat makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada orang lain mengenai ragam kebudayaan di Indonesia khususnya mengenai kebudayaan roti buaya menjadi simbol dari pernikahaan masyarakat Betawi. Selain itu juga untuk mengetahui kenapa masyarakat Betawi menggunakan roti buaya sebagai simbol adat pernikahan dan untuk memahami makna dari roti buaya pada pernikahan adat Betawi yang menjadi simbol masyarakat Betawi serta kebiasaan masyarakat Betawi menjadikan roti buaya sebagai simbol pernikahan.

ROTI BUAYA BETAWI

Roti Buaya Betawi



Roti Buaya, antaran pernikahan, ada bapaknya, ada ibunya dan sudah ada anaknya, padahal yang melamar lajang dan yang dilamar gadis.
Picture taken by Safri Ishak, pernikahan Pipit dan Armed, Kodau, Bekasi, 02-October-2010.

Roti Buaya, Simbol Kesetiaan
Jumat, 19 Juni 2009 | 09:40 WIB
Sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2009/06/19/09403272/Roti.Buaya.Simbol.Kesetiaan

JAKARTA, KOMPAS.com - Setiap acara pernikahan yang mengusung adat Betawi, pasti tak pernah meninggalkan roti buaya. Biasanya roti yang memiliki panjang sekitar 50 sentimeter ini dibawa oleh mempelai pengantin laki-laki pada acara serah-serahan.
Selain roti buaya, mempelai pengantin laki-laki juga memberikan uang mahar, perhiasan, kain, baju kebaya, selop, alat kecantikan, serta beberapa peralatan rumah tangga.

Dari sejumlah barang yang diserahkan tersebut, roti buaya menempati posisi terpenting. Bahkan, bisa dibilang hukumnya wajib. Sebab, roti ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup-semati.
Asal muasal adanya roti buaya ini, konon terinspirasi perilaku buaya yang hanya kawin sekali sepanjang hidupnya. Dan masyarakat Betawi meyakini hal itu secara turun temurun.


More ......

Jumat, 25 Oktober 2013

ROTI BUAYA NIKMAT

Roti buaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Roti Buaya)
Langsung ke: navigasi, cari

Roti Buaya
Roti buaya adalah hidangan Betawi berupa roti manis berbentuk buaya.[1] Roti buaya senantiasa hadir dalam upacara pernikahan dan kenduri tradisional Betawi.[1][2]

Makna

Suku Betawi percaya bahwa buaya hanya kawin sekali dengan pasangannya; karena itu roti ini dipercaya melambangkan believe kesetiaan dalam perkawinan.[1][2] Pada saat pernikahan, roti diletakkan di sisi mempelai perempuan dan para tamu kondisi roti ini melambangkan karakter dan sifat mempelai laki-laki.[3] Buaya secara tradisional dianggap bersifat sabar (dalam menunggu mangsa).[3] Selain kesetiaan, buaya juga melambangkan kemapanan.[4] Akan tetapi kini dalam simbolisme budaya modern, makna buaya berubah menjadi hal yang buruk, misalnya buaya judi, buaya minum (pemabuk) dan buaya darat (orang yang mata keranjang).[1][3]